Maaf anakku, semestinya cerita ini bisa
berakhir lebih bahagia, tapi kita dalam diorama… Harusnya sisa masa ku buat
indah menukar sejarah, tapi kita dalam diorama..
24
Juni 1996
Aku lelah, yah. Skenario Tuhan ini terlalu
berat. Tau kah kau? Saat serpihan caci mereka membludak, dan ku hanyalah sebuah
patung? Mereka bilang, aku ini tak berguna. Hanyalah aliran darah dari seorang
ayah tak berisyarat. Argumen remehnya kuserap dalam-dalam, saat cemoohannya
terlontar sembari mengombang-ambingkan ragaku. Pada saat itu pula, kusalahi
takdir Illahi. Apa gunaku menghabiskan udara di dunia ini? Jika sama sekali tak
ada gunaku. Lantas kucari alternatif menuju gerbang peghujung hidupku dengan
sekepal butiran putih ini, mungkin akan membawaku ke sana. Dengan
lontang-lantung, kuberjalan pulang. Menuju gubuk yang terdapat sesosok lelaki
paruh baya didalamnya. Lelaki yang sangat kubenci. Mengapa aku harus terikat
dengannya? Membuatku tak bermasa depan. Jangankan berkarib, sosialisasi pun ku
sulit. Ini semua karena tua bangka itu. Kenapa harus kau? Lagu lama jika
kukatakan sesungguhnya aku mencintaimu, karena nyatanya aku juga sangat
membencimu! Seandainya, ayahku bukanlah kau. Pedagang es yang lusuh, terlebih
dengan notabene tunarungu dan tunawicara. Cukup! Seburuknya diskriminasi telah
ku kecap. Ini salahmu! Tunggu, ada secercah cahaya putih disana. Mendekat. Itu?
***
Regia! Kau harus bertahan nak! Kau kuat!
Aku tau kau kuat! Setelah berkali ku berusaha untuk menemanimu di ruangan
mengerikan itu, namun percuma, lelaki berjas putih itu menahanku. Kuputuskan
untuk menantimu disini. Duduk, termenung. Apa salahku Tuhan? Apa pengorbananku
untukmu masih kurang? Belum cukup? Kau telah merenggut istriku. Dan sekarang?
Kau akan merampas anakku? Astagfirullahaladzim.. Apa yang aku katakan? Ceceran
darahmu setelah tertabrak kendaraan tadi membuatku panik Regia. Disaat seperti
ini seharusnya aku berdoa, berikhtiar, dan tawakal. Ya Allah, jika kau ingin
mengambil nyawanya, tukarlah dengan nyawaku. Jika saja ia ingat, hari inilah
umurnya yang ke-17 dimulai. Ijinkanlah ia merasakan umur ke-17 nya. Dari jendela
pintu ini, aku meniupkan lilin ber-angka 17 setelah berdoa untukmu dan
bernyanyi lagu Selamat Ulang Tahun. Yang mungkin pada umurmu yang ke-3 lah kita
terakhir melakukannya. Aku bisa melihat parasmu, anakku. Meskipun kau terkulai
lemas, kecantikanmu, yang tak lain seperti ibumu masih jelas kutatap.
Seandainya ada yang bisa kulakukan..
1
Desember 2002
Regia Meriem Fadhilatunnisa. Lihat yah,
namaku tercetak dalam secarik kertas berbingkai emas. Ucapku dengan sehelai
daun kering berukir tulisan yang agak semrawut. Di depan namaku juga ada
imbuhannya, "dr.". Ini kan yang kau harapkan? Sekarang, aku juga
sedang menjalani tahap pendidikan selanjutnya. Nanti, setelah aku lulus, dan
memiliki sebuah rumah sakit, kita akan kaya raya. Punya istana, jadi milyuner!
Kita akan hidup bahagia, yah! Tetesan mutiara tak dapat kubendung. Hahaha!
Tenang saja yah, akan kubuktikan! Meskipun itu semua tidak akan membalas
tetes-tetes keringatmu. Selama ini aku hanya menyesalimu. Tak kubuka mata,
betapa berharganya seorang ayah. Kau tak ubahnya sesosok malaikat yang Tuhan
titipkan padaku. Hanya saja kejahiliahanku yang membuatku tak menyadari akan
hal itu. Aku malah terpancing oleh mereka-mereka yang menghujatmu. Tak mengerti
apa artinya hidup. Tak sadar bahwa kehidupan kedua mereka didasarkan atas
perlakuan mereka. Tak sadar bahwa takaran sesungguhnya adalah iman. Apa beda
antara mereka dengan orang tuli dan bisu? Toh tanah pula awal dan akhir dari
keduanya. Betapa bodohnya aku! Tuhan, seandainya saja bisa kuharap tuk
kembalikan ayahku ke dalam hidupku. Kini sungguh kurasakan sesal yang mendalam.
Dan sekarang aku harus pergi. Pengawalku ini, yang katanya dari Rumah Sakit
Jiwa Bakti Kencana, akan mengawalku kembali ke sebuah kandang yang sangat
hambar. Aku hanya berkawan rumput dan dinding, yang senantiasa menghiburku.
Dah, ayah.. Aku harus pergi. Esok kita kan bersua kembali. Saat aku mencapai
kesuksesanku. Dan berjanjilah, kau yang kan jadi saksinya. Mungkin nisan ini
kan kumimpikan malam ini. Sebagai kenangan dari wajahmu yang sekarang hanya
bisa kulihat dari namamu dalam batu ini. Kutau tak ada ayah yang sempurna, tapi
cintamu, itulah yang membuatmu sempurna.