Monday, December 17, 2012

Diorama

Oke, ini cerpen jadul saya yang dibuat entah kapan, dan saya temukan terkapar di dalam harddisk saya. Yang jelas sepertinya saya sedang berada dalam titik labil yang kritis pada saat itu. Dan seingat saya, ini adalah tugas Bahasa Indonesia di sekolah. Entahlah nilainya sememprihatinkan apa~ -_-


Maaf anakku, semestinya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia, tapi kita dalam diorama… Harusnya sisa masa ku buat indah menukar sejarah, tapi kita dalam diorama..

24 Juni 1996
Aku lelah, yah. Skenario Tuhan ini terlalu berat. Tau kah kau? Saat serpihan caci mereka membludak, dan ku hanyalah sebuah patung? Mereka bilang, aku ini tak berguna. Hanyalah aliran darah dari seorang ayah tak berisyarat. Argumen remehnya kuserap dalam-dalam, saat cemoohannya terlontar sembari mengombang-ambingkan ragaku. Pada saat itu pula, kusalahi takdir Illahi. Apa gunaku menghabiskan udara di dunia ini? Jika sama sekali tak ada gunaku. Lantas kucari alternatif menuju gerbang peghujung hidupku dengan sekepal butiran putih ini, mungkin akan membawaku ke sana. Dengan lontang-lantung, kuberjalan pulang. Menuju gubuk yang terdapat sesosok lelaki paruh baya didalamnya. Lelaki yang sangat kubenci. Mengapa aku harus terikat dengannya? Membuatku tak bermasa depan. Jangankan berkarib, sosialisasi pun ku sulit. Ini semua karena tua bangka itu. Kenapa harus kau? Lagu lama jika kukatakan sesungguhnya aku mencintaimu, karena nyatanya aku juga sangat membencimu! Seandainya, ayahku bukanlah kau. Pedagang es yang lusuh, terlebih dengan notabene tunarungu dan tunawicara. Cukup! Seburuknya diskriminasi telah ku kecap. Ini salahmu! Tunggu, ada secercah cahaya putih disana. Mendekat. Itu?
***
Regia! Kau harus bertahan nak! Kau kuat! Aku tau kau kuat! Setelah berkali ku berusaha untuk menemanimu di ruangan mengerikan itu, namun percuma, lelaki berjas putih itu menahanku. Kuputuskan untuk menantimu disini. Duduk, termenung. Apa salahku Tuhan? Apa pengorbananku untukmu masih kurang? Belum cukup? Kau telah merenggut istriku. Dan sekarang? Kau akan merampas anakku? Astagfirullahaladzim.. Apa yang aku katakan? Ceceran darahmu setelah tertabrak kendaraan tadi membuatku panik Regia. Disaat seperti ini seharusnya aku berdoa, berikhtiar, dan tawakal. Ya Allah, jika kau ingin mengambil nyawanya, tukarlah dengan nyawaku. Jika saja ia ingat, hari inilah umurnya yang ke-17 dimulai. Ijinkanlah ia merasakan umur ke-17 nya. Dari jendela pintu ini, aku meniupkan lilin ber-angka 17 setelah berdoa untukmu dan bernyanyi lagu Selamat Ulang Tahun. Yang mungkin pada umurmu yang ke-3 lah kita terakhir melakukannya. Aku bisa melihat parasmu, anakku. Meskipun kau terkulai lemas, kecantikanmu, yang tak lain seperti ibumu masih jelas kutatap. Seandainya ada yang bisa kulakukan..

1 Desember 2002
Regia Meriem Fadhilatunnisa. Lihat yah, namaku tercetak dalam secarik kertas berbingkai emas. Ucapku dengan sehelai daun kering berukir tulisan yang agak semrawut. Di depan namaku juga ada imbuhannya, "dr.". Ini kan yang kau harapkan? Sekarang, aku juga sedang menjalani tahap pendidikan selanjutnya. Nanti, setelah aku lulus, dan memiliki sebuah rumah sakit, kita akan kaya raya. Punya istana, jadi milyuner! Kita akan hidup bahagia, yah! Tetesan mutiara tak dapat kubendung. Hahaha! Tenang saja yah, akan kubuktikan! Meskipun itu semua tidak akan membalas tetes-tetes keringatmu. Selama ini aku hanya menyesalimu. Tak kubuka mata, betapa berharganya seorang ayah. Kau tak ubahnya sesosok malaikat yang Tuhan titipkan padaku. Hanya saja kejahiliahanku yang membuatku tak menyadari akan hal itu. Aku malah terpancing oleh mereka-mereka yang menghujatmu. Tak mengerti apa artinya hidup. Tak sadar bahwa kehidupan kedua mereka didasarkan atas perlakuan mereka. Tak sadar bahwa takaran sesungguhnya adalah iman. Apa beda antara mereka dengan orang tuli dan bisu? Toh tanah pula awal dan akhir dari keduanya. Betapa bodohnya aku! Tuhan, seandainya saja bisa kuharap tuk kembalikan ayahku ke dalam hidupku. Kini sungguh kurasakan sesal yang mendalam. Dan sekarang aku harus pergi. Pengawalku ini, yang katanya dari Rumah Sakit Jiwa Bakti Kencana, akan mengawalku kembali ke sebuah kandang yang sangat hambar. Aku hanya berkawan rumput dan dinding, yang senantiasa menghiburku. Dah, ayah.. Aku harus pergi. Esok kita kan bersua kembali. Saat aku mencapai kesuksesanku. Dan berjanjilah, kau yang kan jadi saksinya. Mungkin nisan ini kan kumimpikan malam ini. Sebagai kenangan dari wajahmu yang sekarang hanya bisa kulihat dari namamu dalam batu ini. Kutau tak ada ayah yang sempurna, tapi cintamu, itulah yang membuatmu sempurna.